Jumat, 09 Agustus 2013

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE (BAGIAN 2)

Membangun PT. PAL INDONESIA dari puing-puing besi tua..


Ketika ditanya cita-citanya ingin membesarkan PT PAL saat itu, BJ Habibie yang lazim disapa Eyang Rudy ini mengatakan karena rasa sakit hati terhadap penjajah. Sebab, penjajah menjelek-jelekan bangsa Indonesia yang tidak bisa membuat apa-apa.
‘’Saya ingin tunjukkan, bahwa orang Indonesia itu bisa. Buktinya bisa membangun kapal dan pesawat,’cerita Habibie.


Ketika B.J. Habibie yang waktu itu berusia 35 tahun memutuskan pulang kampung dari Jerman Barat pada 1973, banyak yang bertanya-tanya.. Untuk alasan apa Habibie kembali ke Indonesia yang saat itu masih tertatih-tatih sebagai negara berkembang, dan meninggalkan karier cemerlangnya sebagai pakar teknologi penerbangan yang disegani di Barat?

Pilihannya menjawab permintaan Soeharto merancang fondasi kemandirian Iptek Indonesia berbuah cetak biru peradaban teknologi. Industri-industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia (dahulu IPTN) dan PT PAL, menjadi jejak kemandirian Iptek Indonesia yang dirintis Habibie dan menunjukkan kekuatan gagasannya.

Industri Perkapalan Indonesia sampai era 1970-an masih terbelakang. Galangan-galangan di sini baru menghasilkan kapal-kapal 1000 ton ke bawah. Mereka pun lebih berkonsentrasi pada pemeliharaan dan perbaikan kapal (harkan). Sementara perusahaan-perusahaan pelayaran nasional pesimis terhadap kemampuan galangan lokal, sehingga lebih suka memanfaatkan jasa galangan pembangun dan harkan di mancanegara. Di tengah kondisi demikian, sejak 1977, Suleman Wiriadidjaja  menjadi rekan B.J. Habibie dalam mengembangkan Penataran Angkatan Laut (PAL), Surabaya, menjadi pusat keunggulan dan ujung tombak industri perkapalan di Indonesia. Guna memacu dan mempromosikan kemampuan galangan dalam negeri.

Habibie bertujuan mendirikan PT PAL sebagai salah satu industri strategis dengan dengan harapan pada galangan inilah nantinya akan dibuat kapal teknologi canggih dan sesuai dengan kebutuhan kapal di Indonesia. Fasilitas Ship Building Plant (SBP) di PT PAL adalah yang tercanggih di Asia Tenggara. Bahkan sejumlah pakar perkapalan menilai desainnya nyaris sempurna. Jerman yang industri maritimnya lebih tua saja baru belakangan membangun SBP secanggih yang dimiliki PT PAL. Performa SBP yang mulai dibangun pada tahun 1984 itu tak lepas dari peran Habibie dan Suleman. Mereka tak sekadar menuangkan ide untuk membangunnya, tapi juga gigih memperjuangkan idenya sampai menjadi kenyataan. Habibie dan Suleman meyakinkan para penentu keputusan (baik keputusan politik maupun keputusan soal pembiayaan) bahwa proyek SBP tersebut rasional. Sesuai dengan kebutuhan PT PAL untuk memproduksi kapal secara efisien. Sejalan pula dengan upaya mengangkat PT PAL sebagai pusat keunggulan industri maritim di Asia Tenggara.

Selama beliau menjabat sebagai Direksi PAL, suleman memegang jabatan Koordinator Kegiatan, memperoleh kepercayaan penuh dari Habibie untuk mengendalikan operasional dan mengambil langkah-langkah guna mengembangkan PAL. Habibie bersama Suleman, menyiapkan proyek pertama pembuatan kapal berskala nasional. hasilnya dalam pembangunan kapal barang umum dengan ukuran 3000DWT. Pada saat itu PT PAL masih dalam taraf dalam belajar dalam memproduksi barang sehingga dilakukan kerjasama dengan Mitsui Engineering dan Shipbuilding Jepang untuk membangun kapal skala nasional tersebut.
Proyek yang digagas oleh Habibie dan Suleman ini menghasilkan produk unggulan kapal buatan dalam negeri, yakni kapal kelas Caraka Jaya dan kapal kelas Palwo Buwono. Kapal Caraka Jaya General Cargo 3.650 DWT, kini menjadi tulang punggung industri pelayaran nasional.


Selain mendirikan PT PAL dan industri teknologi tinggi lain, B.J. Habibie selaku Menristek/Ketua BPPT mengemukakan pemikirannya bahwa untuk memajukan industri, perlu optimalisasi riset dalam bidang industri yang bersangkutan. Untuk mendukung industri perkapalan nasional, dirasa perlu untuk membangun laboratorium hidrodinamika skala nasional. Habibie menyetujui proposal dari ITS agar LHI dibangun di dekat kampus ITS Sukolilo, Surabaya. 


Pertimbangannya, LHI akan lebih efektif karena dekat dengan lingkungan kampus (yang memiliki Fakultas Teknologi Kelautan). Kalau LHI dibangun di Sukolilo, berarti memudahkan mahasiswa ITS untuk melakukan kerja praktek dalam pengujian hidrodinamika. Dan staf ITS bisa melakukan penelitian di LHI, tanpa meninggalkan tugas mengajarnya. Pertimbangan lain, dekat pula dengan PAL yang kala itu dalam proses pengembangan untuk menjadi sentra industri perkapalan di Indonesia.
 (Bersambung...)

4 komentar:

  1. halo ri,

    keren tulisanmu,
    tak susul sebentar lagi wakco,,

    haha

    YT51

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haii tolip :) thankyu.. ini lagi belajar nulis. semangat2 ^.^

      Hapus
  2. mantaaaaap!

    maju terus ri, jaya terus industri perkapalan indonesia!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jalesveva jayamahe! Di laut kita jaya :D smangat ting..

      Hapus